Kamis, 30 Desember 2010

USO ORA ISO? CSR ISO. Peran Operator Seluler dalam Meningkatkan Perekonomian Daerah Tertinggal.

[i]

Oleh Herman Wahyudhi

PENDAHULUAN
Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Ahmad Helmy Faishal Zainal dalam sebuah semiloka mengenai Pengetasan Daerah tertinggal di Jakarta beberapa wakrtu yang lalu mengungkapkan bahwa di Indonesia terdapat 92 pulau terluar yang terisolir dan 183 Kabupaten yang dinyatakan tertinggal. Kementeriaan Pembangunan Daerah Tertinggal menginginkan agar daerah tertinggal dan desa sebagai daerah pertumbuhan baru. Masyarakat di daerah tertinggal memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi untuk meningkatkan taraf kesejahteraan mereka. Padahal Pasal 28 F dari Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa :
“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Ada beberapa isu-isu penting harus dipahami dan dicarikan jalan keluarnya apabila bebicara tentang daerah tertinggal. Pertama adalah keterisolasian, kedua adalah lemahnya sumberdaya manusia (SDM) dan ketiga adalah infrastruktur. Untuk mengurangi keterisolasian perlu bantuan teknologi telekomunikasi dan informasi. Aspek ini memiliki peranan penting dalam mempercepat proses pembangunan daerah-daerah terisolasi dan tertinggal.
Selama ini produk-produk yang dihasilkan oleh daerah tertinggal dan daerah pedalaman pendistribusiannya hanya berputar-putar di sekitar daerah mereka saja. Padahal produk yang dihasilkan akan mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi bila dipasarkan ke daerah-daerah perkotaan. Namun keterbatasan informasi di daerah-daerah tertinggal membuat produk-produk mereka tidak dikenal seperti kata pepatah, tak kenak maka tak sayang.
Disinilah letak pentingnya peran operator seluler sebagai bagian dari industri telekomunikasi sebagai entitas yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan pembangunan di daerah tertinggal. Namun membangun base transceiver base station (BTS) di daerah tertinggal dan terpencil tidak menghasilkan keuntungan bagi operator karena jumlah pelanggan di wilayah tersebut relative kecil. Padahal menurut International Telecommunication Union (ITU) peningkatan sebesar 1 persen dalam penetrasi telepon seluler di ssejumlah negara berkembang berkorelasi dengan peningkatan penghasilan per kapitas sebesar 4,7 persen. Industri telepon fixed line yang lebih dulu dikenal masyakat saat ini penetrasinya kurang dari 5 persen. Sementara menurut Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI), industri seluler yang baru dikenal selama 15 tahun memiliki penetrasi mendekati 80 persen dengan jumlah pelanggan 180 juta[ii]. Namun kepemilikian telepon seluler ini masih tidak merata dan sebagian besar kepemilikannya masih berpusat di wilayah perkotaan.

Kompetisi sektor telekomunikasi di Indonesia dengan tujuan percepatan peningkatan teledensitas sejatinya akan meningkatkan ekonomi Indonesia khususnya di desa-desa, daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan serta membuka lapangan kerja baru pada industri telekomunikasi, memperkecil kesenjangan digital dan memajukan rakyat di pedesaan dengan teknologi telekomunikasi dan informasi. Contoh daerah yang berhasil keluar dari ketertinggalan berkat adanya sarana telekomunikasi dan informasi adalah Kabupaten Sambas. Melalui program bantuan Pembangunan Desa Informasi dari Departemen Komunikasi dan Informasi sejak tahun lalu sudah keluar dari status daerah tertinggal karena adanya bantuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga desa-desa di Kabupaten Sambas menjadi masyarakat informasi yang mandiri. Masuknya teknologi telekomunikasi dan informasi membuat masyarakat yang ada di wilayah Sambas dapat lebih mudah memperoleh informasi. Pembentukan desa informasi yang pertama di Indonesia ini dilandasi denan keinginan untukmewujudkan adanya komunikasi yang lancar daninformasi yang segar secara merata di seluruh Indonesia, khususnya bagi daerah di wilayah perbatasan, terpencil, dan tertinggal.

DIGITAL DIVIDE DAN PASAR ASIMETRIS
Konvergensi teknologi telekomunikasi dan informasi diproyeksi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kenyataannya, akses kepada teknologi tersebut belum merata. Bahkan negara dengan infrastruktur teknologi digital yang maju seperti Amerika Serikat masih terdapatan kesenjangan digital (digital divide) apalagi negara berkembang seperti Indonesia, digital divide ini pasti lebih lebar lagi. Terminologi kesenjangan digital (digital divide) diartikan sebagai kedaan dimana dunia terbagi dalam dua kelompok dari kemampuan mengakses teknologi telekomunikasi dan informasi seperti telepon seluler, internet, dan televisi. Kondisi ini biasanya terjadi di daerah perkotaan dan daerah pinggiran (termasuk daerah tertinggal). Kesenjangan digital ini pada akhirnya membuat kesenjangan akses masyarakat kepada informasi juga semakin lebar.
Adanya kesenjangan informasi ini melahirkan apa yang disebut sebagai hidden informasi (Hirshleifer & Riley, 1994: 307, menyebutnya hidden knowledge) adalah suatu transaksi yang salah satu pihak memiliki informasi lebih baik tentang transaksi tersebut. Pada kondisi ini berarti informasi tidak terdistribusi secara seimbang, yang kemudian dikenal sebagai ketidakseimbangan informasi. Informasi yang kurang lengkap membuat system insentif tidak bekerja sempurna. Bagi mereka, kegagalan mekanisme pasar disebabkan ketidaksanggupan melengkapi informasi. Maka tak aneh bila orang Perancis punya pepatah kuno: "orang bodoh lebih sering berperan sebagai pembeli daripada sebagai penjual".

Daerah perkotaan dengan akses informasi yang lebih baik memiliki peluang ekonomi lebih besar dibandingkan wilayah perdesaan yang rata-rata tertinggal. Hal inilah yang dirasakan China dan India, dimana posisi tawar masyarakat di daerah tertinggal selalu lebih lemah karena keterbatasan sarana telekomunikasi dan informasi.
Pemerintah China menyadari adanya gap antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Kesejangan kesejahteraan dan konektivitas nirkabel antara kota-kota di pesisir timur dengan daerah pedalaman di belahan barat China cukup signifikan. Bahkan menurut laporan Kementerian Industri Informasi (MII), penertrasi ponsel di Cina masih di bawah 40 persen, meski di sejumlah perkotaan mencapai 90 persen. Untuk mengatasi hal tersebut, Cina melaksanakan proyek yang bernama Wireless Reach, program ini bertujuan untuk memanfaatkan kemajuan teknologi nirkabel untuk kemajuan masyarakat yang berkesinambungan di tiga propinsi di barat China, yaitu Shaanxi, Guizhou, dan Ningxia. Bekerjasama dengan China Unicom dan sebuah lembaga swadaya masyarakat internasional, Planet Qualcomm menyumbangkan 2.000 ponsel CDMA2000 berikut kartu pra-bayar dan voucher isi ulang bulanan (berlaku hingga dua tahun) sumbangan China Unicom.
Penerima ponsel tersebut adalah petugas penyalur pinjaman keuangan mikro atau krediro dengan catatan kinerja baik dan terarut mengikuti program-program pelatihan Planet Finance. Voucher dari China Unicom mencakup layanan SMS mingguan, yang memungkinkan PlaNet Finance member informasi tentang harga danpinjaman kepada para mitra dan penerima pinjaman. Ponsel CDMA2000 sumbangan itu juga memperluas akses penerimanya pada pasar, hingga tidak perlu lagi melakukan perjalanan yang memakan waktu dan memudahkan menerima pinjaman dari keuangan makro. Adanya bantuan dari Pemerintah China dan operator seluler telah membantu pemerataan pendapatan ekonomi. Maka tak aneh bila China saat ini telah tumbuh menjadi raksasa terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat dengan total produk domestic bruto (PDB) nominal 5,7 triliun dollar AS sampai Oktober 2010. China juga memiliki cadangan terbesar di sunia yakni 2,65 triliun dolar AS atau sekitar 30 persen dari total cadangan devisa dunia (Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang sementara ini baru mencapai 91,8 miliar dollar AS).
Di India, petani pun bisa sukses berkat telepon seluler. Penggunaan ponsel di negara itu menjadi pendorong utama pertumbuhan pendapatan. Pengguna telepon seluler di wilayah-wilayah pedesaan di India paling menikmati layanan-layanan seperti informasi pertanian (40 persen), hiburan dan music (16 persen), dan jasa keuangan (8 persen), seperti untuk pembayaran dan pengiriman uang bergerak (e-banking). Para petani tembakau di kawasan India pendapatan hasil panennya meningkat sejak menggunakan internet dibandingkan dengan cara konvensional. Berkat system online yang di beri nama “e-shaupal” atas prakarsa Indian Tobacco Co (ITC) para petani di kawasan tersebut dapat langsung memasok kebutuhan ITC tanpa perantara. Dan berkat sistem ini pendapatan para petani tembakau naik hingga 25%.


USO DALAM MENGATASI DIGITAL DIVIDE DI DAERAH TERTINGGAL
Pasar yang tidak simetris menurut ekonom Stigler bahwa keterbatasan peran pasar akibat informasi yang tidak lengkap diharapkan bisa diatasi dengan regulasi yang dikenal dengan “teori ekonomi regulasi” dengan memusatkan perhatian untuk menerangkan siapa yang mendapat manfaat dan menanggung beban atas suatu regulasi.[iii] Lain ladang lain belalang, lain negara lain pula regulasi yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia guna melakukan percepatan perekonomian daerah tertinggal yang dilaksanakan.

Salah satu upaya pemerintah di bidang telekomunikasi yang bertujuan mempercepat akselerasi pembangunan daerah tertinggal adalah melaksanakan program USO (Universal Service Obligation). Istilah Universal Service tercatat pertama kalinya dalam kosakata sektor telekomunikasi pada tahun 1907. Saat itu Presiden perusahaan telekomunikasi terkemuka AT&T, Theodore Vail, mempopulerkan slogan “One System, One Policy, Universal Service” dalam laporan tahunan perusahaan tersebut berturut-turut hingga tahun 1914. Program USO dibiayai oleh para penyelenggara telekomunikasi (penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi) yang beroperasi di Indonesia. Caranya dengan melakukan pembayaran kontribusi kewajiban pelayanan universal (KKPU) kepada pemerintah setiap triwulan, yang besarnya dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi setiap tahun buku.
Melalui Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 05 /PER/M.KOMINFO/2/2007, 28 Februari 2007, ditegaskan bahwa perhitungan pembayaran KKPU oleh penyelenggara telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan perhitungan sendiri (self assessment) dengan menggunakan laporan keuangan yang ditandatangani oleh pejabat perusahaan yang berwenang. Pembayaran kepada pemerintah dilakukan melalui Kas BTIP, PPK-BLU (Balai Telekomunikasi dan Informatika Perdesaan, Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum) melalui rekening Kepala BTIP Ditjen Postel pada Bank Pemerintah. Kewajiban USO dari penyelenggara telekomunikasi awalnya 0,75% sekarang naik menjadi 1,25 persen untuk akselerasi pembangunan backbone telekomunikasi.
Ada beberapa tujuan dalam pelaksanaan program USO di antaranya :
a. meningkatkan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi daerah-daerah tertinggal;
b. mengurangi kesejangan digital (digital divide) antara wilayah perkotaan dengan daerah pinggiran;
c. meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah teringgal;
d. menghilangkan kesenjangan sosial dan asismetris informasi dalam kegiatan ekonomi;
e. mengurangi pengangguran dengan menciptakan lapangan kerja di daerah; dan
f. mengurangi arus urbanisasi serta pemerataan populasi.

Negara Inggris termasuk salah satu negara industri maju dengan pendapatan perkapita penduduknya mencapai US$ 35,286 yang sudah menerapkan USO sejak beberapa tahun lalu. Ofcom (office of communications) yang merupakan lembaga regulasi telekomunikasi dan penyiaran di Inggris mendifinisikan bahwa Universal Service adalah menyediakan jaringan telekomunikasi yang aman dan dapat menjamin layanan basic fixed line tersedia dengan harga yang terjangkau bagi semua warga negara Inggris. Pertimbangan keadilan sosial dan kebutuhan ekonomi merupakan dua pertimbangan bagi penyelenggaraan USO.
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ericsson, Earth Institute, dan Milennium Promise, telepon seluler juga mendatangkan manfaat social dan financial bagi penduduk pedesaan di daerah-daerah tertinggal[iv]. Tersedianya layanan seluler di daerah tertinggal meningkatkan berbagai layanan social, seperti kesehatan, pendidikan,dan pengembangan usaha kecil. Telepon seluler sedikitnya 6.000 orang per tahun bisa diselamatkan di negara-negara yang disurvei. Hasil penelitian itu menunjukkan usaha kecil juga merasakan manfaat, khususnya dalam menghemat biaya-biaya transportasi. Tiga dari empat orang yang disurvei juga merasakan manfaat sosial atau finansial dengan menggunakan telepon seluler.


AKAHKAN USO MENYELESAIKAN MASALAH?
Uso ora iso di atas merupakan plesetan dari iso ora iso dalam bahasa Jawa yang artinya bisa atau tidak bisa? Sanggupkah USO untuk mempercepat pembangunan ekonomi di daerah-daerah tertinggal?
Tanyakanlah pada rumput yang bergoyang, begitu mungkin kata sebagian orang. Tapi penulis punya jawaban sendiri, bahwa tentu saja tidak bisa bila hanya mengandalkan USO untuk mengangkat perekonomian daerah. Perlu pemberdayaan masyarakat (SDM) di daerah-daerah tertinggal tersebut. Bahwa selama ini ada salah kaprah yang menganggap teknologi sebagai dewa yang membawa perubahaan di masyarakat. Pemberlakuan paham determinisme teknologi ini dapat dikenali misalnya dalam pernyataan seperti “USO akan memberantas ketertinggalan daerah” atau “teknologi informasi akan mencerdasakan masyarakat”, atau “penguasaan sains dan teknologi akan memajukan daerah-daerah tertinggal”. Pernyataan-pernyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa teknologi menyebabkan perubahan sosial. USO menyarankan suatu determinisme teknologi, bahwa teknologi akan mengubah perilaku para pembuat keputusan dalam organisasi masyarakat di daerah tertinggal. Ini kesalahan umum para pemangku kebijakan (stakeholders) bahwa dengan implementasi teknologi telekomunikasi di suatu daerah tertinggal maka daerah itu akan maju karena teknologi memaksa masyarakat untuk mengikutinya.
Hal ini dalam analisis Andrew Feenberg ditemukan setidaknya ada dua premis yang menunjukkan kelemahan dari paham determinasi teknologi. Pertama, bahwa teknologi berkembang secara uniliner atau garis lurus dari teknologi yang sederhana menuju kompleks. Kedua, bahwa masyarakat dalam paham ini bersikap pasif dan menerima begitu saja teknologi yang ada. Maka lahirlah paham Social Construction of Technologi (SCoT) yang dipelopori Wiebe Bijker dan Trevor Pinch bahwa masyarakatlah yang menentukan apakah suatu teknologi itu diterima atau tidak. SCoT merupakan suatu deteriminisme sosial, memberlakukan determinasi yang berlawanan arah dengan determinisme teknologi. Dalam determinisme sosial, bahwa kehendak dan keputusan masyarakatlah yang menentukan efek-efek dari kehadiran teknologi. Dalam model ini, teknologi dipandang sebagai alat atau media yang patuh terhadap kehendak sosial.
Paham SCoT yang dijelaskan diatas pun masih mengalami beberapa kritikan. Langdon Winner mengkritik SCoT terlalu apolitis dan tidak menghiraukan konsekuensi sosial dan pilihan teknologi. Sedangkan Hans Klein dan Daniel Kleineman mengkritik karena peran individu terlalu besar dibandingkan peran struktur sosial itu sendiri. Klein dan Kleineman juga menyoroti satu fator penting yang berperan besar dalam perkembangan teknologi adalah factor kekuasaan. SCoT mengesamping adanya kekuasaan yang menggerakan perubahan sosial dan terlalu menitikberatkan pada kemampuan individu untuk menggerakkan perubahan sosial.
Kekuasaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[v] adalah kuasa (untuk mengurus, memerintah, dsb), bisa juga berarti kemampuan; kesanggupan. Dari kedua definisi tersebut dapat dianologi bahwa kekuasaan terletak pada Pemerintah (yang mempunyai kuasa) dan operator seluler yang mempunyai kemampuan atau kesanggupan dalam menyediakan layanan teknologi telekomunikasi dan informasi. Sehingga kekuasaan dalam mengenalkan teknologi dalam ini dilakukan oleh Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk memerintah dan operator seluler yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan teknologi tersebut.

CSR SEBAGAI PENDUKUNG USO
USO hanyalah sebuah teknologi telekomunikasi backbone. Bahwa teknologi hanya sebagai alat bukan tujuan (technology is tools not goal) tetapi orang yang mengoperasikan teknologi tersebut (man behind machine). Seperti juga dikemukan oleh Bill Gates : “Technology is just a tool. In terms of getting the kids together and motivating them, the teacher is the most important.”
Sama halnya dengan USO, semua tergantung dari pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Dalam Jejaring-aktor atau Actor Network Theory (ANT) disebutkan bahwa antara dunia sosial dengan sains dan teknologi, terjalin relasi-relasi yang membangun hibrida sosio-teknis. Bahwa keberhasilan program USO melibatkan relasi-relasi dari aktor-aktor yaitu Pemerintah (regulator), operator seluler (produsen), masyarakat (user) serta teknologi backbone itu sendiri. Bahwa entitas manusia dan non-manusia yang mendorong dan terlibat atau dilibatkan dalam proses ini menjadi saling terpautkan dan mengalami perkembangan melalui interaksi-interaksinya.
Interaksi antara pemerintah dan operator seluler, Pemerintah Indonesia bisa meniru kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah China dengan menggandeng operator seluler dan industri perbankan untuk menyediakan telepon seluler gratis yang dibagikan kepada penyuluh di daerah. Pemerintah juga perlu menggandengkan industri perbankan untuk membantu penyaluran kredit mikro di daerah tertinggal. Penyuluh juga dapat berperan sebagai penyalur pinjaman mikro untuk pengembangan kegiatan ekonomi di daerah yang perlu diatur lagi dalam pelaksanaannya. Adanya bantuan telepon gratis ini maka penyuluh akan dapat membantu memberi pelatihan kepada masyarakat. Seperti efek domino atau getuk ular, pengetahuan tersebut akan disebarkan kepada masyarakat yang lain. Sehingga pada akhirnya para petani dapat memonitoring harga-harga hasil tani di daerah sekitarnya untuk mencari pembeli yang terbaik. Juga dapat digunakan untuk menegosiasikan harga serta menjadi media promosi yang efisien dan efektif. Tak aneh kelak para petani mempromosikan produknya melalui website, blog, facebook, atau twitter. Contohnya ada beberapa industri skala rumah tangga yang bisa mengekspor produknya ke mancanegara berkat menggunakan media promosi melalui internet (penetrasi internet di Indonesia sendiri masih jauh di bawah negara-negara tetangga, yakni di bawah 10 persen. Sedangkan Malaysia dan China sudah di atas 50 persen. Apalagi jika dibanding negara-negara maju, yang mencapai 70 persen lebih, Indonesia jauh tertinggal).
Namun, ketersediaan akses terhadap teknologi informasi saja tidak cukup karena tidak semua orang khususnya masyarakat yang baru mengenal teknologi informasi untuk pertama kali langsung merasa perlu sesuai kebutuhannya. Masih banyak warga di daerah tertinggal dan daerah pedalaman yang belum pernah mengoperasikan bahkan mengenal telepon seluler. Artifak teknologi tersebut masih dianggap sebagai benda asing yang belum diketahui apa manfaatnya buat mereka. Selama ini mereka masih melakukan cara berkomunikasi secara konvensional seperti tatap muka (face to face) atau surat menyurat.
Inilah perlunya interaksi antara Pemerintah dan operator seluler dengan masyarakat pengguna melalui program pendampingan. Pendampingan yang erat terhadap pemanfaatan teknologi merupakan faktor penting. Tanggung jawab ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada Pemerintah mengingat keterbatasan SDM dan dana yang ada pada instansi-instansi terkait. Dalam ANT, operator seluler sebagai produsen memiliki peran penting untuk mendorong interaksi antara masyarakat dengan teknologi yang ada dalam program USO.
Peran operator seluler selain diperlukan melalui keikutsertaan dalam program USO, juga diperlukan dalam program pendampingan. Operator seluler dapat membantu program pendampingan ini melalui program Corporate Social Responsibility (CSR). CSR merupakan salah satu bentuk program bakti sosial sebagai bentuk kontribusi operator seluler kepada masyarakat. Operator seluler dapat memberdayakan SDM yang ada di dalam ada di luar organisasi untuk mensosialisasikan USO. Seperti dijelaskan sebelumnya, agar USO bisa sukses diterima oleh masyarakat perlu dilakukan pendekatan sosial kepada para pelaku kegiatan ekonomi di daerah.
Dalam undang-undang no. 16 tahun 2006 tantang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, disebutkan bahwa penyuluh adalah perorangan warga Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan dibidang pertanian, baik merupakan penyuluh PNS, swasta maupun swadaya. Adapun yang menjadi tugas pokok penyuluh adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangan, mengevaluasi dan melaporkan kegiatan penyuluhan pertanian, sehingga penyuluh dituntut mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai penyuluh dilapangan dengan menjadi mitra kerja petani yang berperan sebagai fasilitator. Jadi tenaga penyuluh menurut undang-undang ini bisa melalui peran serta Pemerintah atau operator seluler.
Operator seluler dapat menyediakan tenaga penyuluh yang mengerti mengenai teknologi telekomunikasi dan informasi serta potensi yang ada di daerah setempat seperti pertanian, peternakan, dan perikanan (e-education). Banyaknya lulusan sarjana bidang tersebut dapat membantu mendampingi masyarakat di daerah pedalaman dan tertinggal agar dapat memahami teknologi telekomunikasi dan informasi seperti pemanfaatan telepon seluler, word processor, browsing, sms, bahkan e-commerce. Dewasa ini dapat dikatakan bahwa para sarjana sudah menguasai dasar-dasar teknologi telekomunikasi dan informasi tersebut. Ini dapat meningkatkan SDM di daerah sekaligus mengurangi pengangguran serta urbanisasi. Jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah dengan adanya teknologi telekomunikasi dan informasi. Pendampingan juga dapat dilakukan dengan menugaskan petugas dari operator seluler untuk membantu pelatihan dan pemahaman terhadap teknologi tersebut.
Selain pendampingan, operator CSR dapat membantu masyarakat di daerah-dearah tertinggal dengan memberikan bantuan telepon seluler seperti yang dilakukan Planet Qualcomm di China tentu saja melalui seleksi dan penilaian yang dilakukan oleh para penyuluh. Hanya warga masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu yang bisa memperoleh bantuan telepon seluler gratis. Selain itu perlu subsidi voucher pulsa gratis selama beberapa bulan untuk membantu masyarakat berkomunikasi. Bantuan dalam bentuk genset atau panel tenaga surya juga diperlukan untuk mengatasi kendala keterbatasan sumber daya listrik. Suatu paradoks bila suatu daerah telah memiliki USO namun masyarakat tidak dapat memanfaatkannya karena tidak ada listrik untuk mengoperasikannya. Telepon seluler pun akhirnya jadi artifak teknologi yang tidak berguna karena masyarakat tidak dapat mengisi ulang baterainya.
Operator seluler juga dapat mengembangkan pusat kegiatan (community center) dimana terdapat kegiatan belajar mengajar, diskusi, pengenalan intenet, serta penyuluhan yang bisa melibatkan banyak warga masyarakat di daerah tertinggal. Bila community center ini bisa berjalan dengan baik maka bisa ditingkat dengan membangun hot-spot agar terkoneksi dengan internet. Hal serupa juga sedang dikembangkan negara tetangga Malaysia melalui kegiatan kampong wifi-nya. Operator seluler juga dapat menyediakan konten-konten gratis yang berhubungan dengan informasi pertanian, perikanan, dan kehutanan. Seperti hasil survei di daerah-daerah tertinggal di India bahwa sekitar 40 persen pengguna telepon seluler mengakses informasi mengenai pertanian. Tidak salah bila teknologi telekomunikasi dan informasi menjadi kunci percepatan dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015.
Satu hal lagi, percepatan perekonomian daerah tertinggal dapat dilakukan melalui penyaluran kredit usaha mikro dengan perantara para tenaga penyuluh seperti yang dilakukan oleh Pemerintah China. Penyuluh inilah yang berhubungan dengan pihak perbankan untuk menyalurkan kredit mikro tersebut. Para penyuluh melakukan penilaian terhadap para calon debitur apakah layak untuk menerima kredit atau tidak. Pihak operator seluler juga bisa menjadi kreditur dalam pendanaan kredit mikro ini karena jumlah dana yang disalurkan relatif kecil namun jumlah tersebut sangat berarti bagi masyarakat di daerah-daerah tertinggal. Bisa dibayangkan berapa banyak warga masyarakat yang terbantu melepaskan diri dari jerat kemiskinan melalui program USO dan CSR ini.
USO ora iso, CSR iso. Peran operator seluler melalui CSR pada akhirnya bisa memaksimalkan USO, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan memajukan perekonomian daerah tertinggal. Selain itu, kerjasama dan interaksi intensif para aktor dalam ANT juga membantu mempercepat pencapaian tujuan program USO. Maka kelak orang tak lagi mengenal CHINDIA (yaitu kekuatan ekonomi China dan India) tetapi CHINESIA (kekuatan ekonomi China dan Indonesia).