Kamis, 07 Mei 2009

Pembatasan Kerahasian Negara dan Perlindungan Hak Atas Informasi.

Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kebebasan itu tiada yang mutlak seperti yang dikatakan oleh beberapa filsuf bahwa there is no absolute freedom. Demikian pula dengan kebebasa informasi. Masalahnya adalah, dimanakah batas-batas yang perlu diberikan agar kebebasan informasi ini dapat dilaksanakan dengan tetap menghormati semua orang? Dalam KUHP kino ada beberapa ketentuan yang merupakan pembatasan informasi, yang memberikan sanksi pidana bagi orang yang memberikan informasi mengani hal tertentu, misalnya :
  • Pasal 112 menganai surat, kabar atau keterangan yang harus dirahasikan karena kepentingan negara (pidanan penjara selama-lamanya 20 tahun)
  • Pasal 124 mengenai rahasai militer (pidana penjara 15 tahun)
  • Pasal 323 mengenai rahasia jabatan (pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 9.000,00).
  • Pasal 323 tentang rahasia perusahaan.
  • Pasal 369 mengenai rajasia pribadi yang dibuka untuk memeras seseorang (sanksi pidana penjara selama-lamanya 4 tahun)
  • Pasal 430-434 mengenai kerahasiaan surat menyurat melalui kantor pos atau kerahasiaan hubungan melalui telepon umum (pidana penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan)

Dalam rumusan Pasal 112 disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja mengumumkan surat-surat, berita-berita, atau keterangan-keterangan yang diketahui bahwa harus dirahasiakan untuk kepentingan negara, atau dengan sengaja memberitahukan atau memberikannya kepada negara asing, kepada raja atau sku bangsa, diancam dengan pidanan penjara paling lama tujuh tahun.”
Pasal 322 menyatakan bahwa “Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencariannya, bauk yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau dengan paling banyak enam ratus rupiah.”
Selain dalam KUHP tersebut, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kearsipan juga mengatur dalam Pasal 11 bahwa : ayat (1) “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-undang ini dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun.” Dan ayat (2) menyatakan bahwa “Barang siapa yang menyimpan arsip sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf a Undang-undang ini, yang dengan sengaja memberitahukan hal-hal tentang naskah otu kepada pihak ketiga yang tidak berhak mengetahui sedang ia wajib merahasiakan hal-hal tersebut, dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidanan penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun.”
Dalam ketentuan di atas sangat jelas bahwa yang diatur lebih banyak merupakan upaya memberikan informasi daripada memperoleh informasi. Namun pada dasarnya inti dapat bermacam-macam, baik positif maupun negatif. Bahwasanya ketentuan dalam KUHP bermaksud untuk memberikan perlindungan hukum pada informasi, pemilik informasi, dan mereka yang mempunyai tanggung jawab untuk memiliki informasi sudahlah jelas. Hal uang perlu dikuatkan dengan adanya UU untuk memperoleh kebebasan informasi adalah meletakkan landasan hukum bagi orang yang berkehendak memiliki informasi yang bersifat publik, hal mana berhubunagn erat dengan public accountability suatu lembaga yang merupakan bagian dari good governance.

Dengan demikian sedikitnya terdapat dua masalah yang harus diperhatikan dalam menyusun UU Kebebasan Informasi, yakni :
(1) hak warga negara untuk memperoleh informasi dari lembaga publik, dan
(2) hak warga dan lembaga tertentu untuk melindungi pribadinya apabila hal pertama dapat mengundang sanksi bagi pejabat publik yang menolak memberikan informasi yang ditetapkan sebagai informasi yang dapat diakses publik, maka hal kedua berkenaan dengan sanksi dapat dijatuhkan atas merka yang melanggar right to privacy seseorangatau lembaga yang ditetapkan dalam UU sebagai pengecualian terhadap hak atas kebebasan informasi.
Dalam kaitannya dengan kebebasan informasi ini, menilik ketentuan yang ada di beberapa negara, sejumlah informasi yang dikecualikan dari akses publik dan digolongkan ke dalam sembilan exemption di Amerika Serikat adalah yang menyangkut :
1) Keamanan nasional (National Security) dan politik luar negeri a) rencana milter, b) persenjataan, c) data iptek yang menyangkut keamanan nasional, dan data CIA.
2) Ketentuan internal lembaga,
3) Informasi yang secara tegas dikecualikan oleh UU untuk dapat diakses publik,
4) Informasi bisnis yangbersifat rahasia,
5) Memo internal pemerintah,
6) Informasi pribadi (Personal Privacy),
7) Data yang berkenaan dengan penyidikan,
8) Informasi lembaga keuangan, dan
9) Informasi dan data geologis dan geofisik mengenai sumbernya.
Harus diingat bahwa kekecualian di atas bersifat diskresioner, tidak wajib, dan diserahkan kepada lembaga yang bersangkutan.

Negara di Asia yang memiliki ketentuan serupa misalnya Thailand, yang memberlakukan Official Information Act tahun 1997. Pengecualian atas informasi yang dapat diakses publik dalam negara ini, mirip dengan ketentuan yang diatur dalam Freedom of Information Act di Amerika Setikat, yakani informasi yang :
1) dapat membahayakan istana,
2) yang dapat membahayakan keamanan nasional, hubungan internasional atau keuangan nasional,
3) menghambat penegakan hukum.
4) merupakan informasi atau nasihat dari lembaga negara yang bersifat internal,
5) yang dapat membahayakan keselamatan atau nyawa seseorang,
6) informasi pribadi atau rekam medik yang publikasinya akan menganam the right of privacy, dan
7) informasi resmi yang dilindungi perundang-undangan atau yang diberikan oleh seseorang dan harus dijaga kerahasiannya.
Keberadaan UU Kebebasan Informasi, sebagai salah satu pendorong demokrasi, dengan demikian, memerlukan penjabatan yang sangat teliti, rinci dan jelas, agar tidak menjadikan kekacauan dalam negara karena tidak adanya rjasia maka hal pertama yang harus dipahami bersama adalah bahwa :
1. tidak semua informasi merupakan bahan yang bebas dipublikasikan.
2. penjabaran mengenai informasi merupakan bahan yang bebas harus dirumuskan dengan jelas.
3. pembatasan atas kebebasan informasi menyangkut :
a. kepentingan nasional/keamanan negara (militer, ekonomi, dan keuangan),
b. kerahasiaan pribadi warga negara.
4. pelanggaran atas pengecualiaan atas hak atas kebebasan informasi yang diberi sanksi pidana harus dirumuskan dengan teliti dan jelas.

Kedua restriksi dalam butir 3 di atas juga diakui oleh komunitas internasional, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 19 Interntional Covenant and Political Rights yang intinya menentukan bahwa the right to freedom of expression...and information...may...be subject to certain restriction, but these shall only be such as are provided by law and are necesessary: a) for respects of the rights or reputation of others, b) for the protection of national security or of public order, or of public health or morals.
Kepentingan negara, merupakan salah satu kata kunci yang membatasi kebebasan informasi, dan sejumlah kebebasan lainnya pula, sebagaimanan dicantumkan dalam Instrumen Hak Asasi Manusia Internasonal. Makna dan cakupan kata ini sebenarnya harus mendapatkan suatu rumusan yangtegas, agar tidak multi interpretable yang pada akhirnya membawa ketidakpastian hukum. Dikaitkan dengan ketentuan dalam ketentuan dalam KUHP, yang menjamin kepastian hukum, melindungi hak masyarakat namun tidak membahayakan negara, maka UU atas kebebasan untuk memperoleh informasi harus mengandung rumusan yang tegas mengenai informasi dan data yang dapat diakses publik dalam kategori ini.
Dengan demikian makna ketentuan yang ada dalam UU No 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan harus ditinjau kembali. Pasal 11 ayat (2) UU ini memberikan sanksi pidanan penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun kepada orang yang dengan sengaja diwajibkan merahasiakna hal tersebut. Padahal Pasal 1 UU ini memberikan definisi yang sangat luas mengenai arsip, yangmencakup semua naskah yang dibuat dan terima oleh lembaga negara, badan pemerintahan, swasta maupun perorangan. Dapat diduga bahwa hal ini membuat petugas arsip kesulitan untuk memberikan arsip bagi publik.
Untuk mengatasi hal ini selayaknya dibuat klasifikasi arsip yang harus dirahasiakan karena sifatnya, misalnya :
1. informasi khusus tentang militer dan persenjataannya dibuat klasifikasi lembaga ini sehingga dapat digunakan untuk melemahkan atau menghancurkan.
2. informasi mengenai sistem keamanan presiden dan pejabat negara lain perlu mendapatkan perlindungan negara.
3. informasi yang dikumpulkan negara mengenai proses peradilan pidana, yang apabila diakses publik dapat menghambat berjalannya proses ini (misalnya mengenai keberadaan saksi pelapor yang menurut UU harus disembunyikan identitasnya dan dilindungi keselamatannya), atau dimanfaatkan oleh tersangka sehingga hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan,
4. informasi yang berkenaan dengan sumber-sumber alam tertentu yang dianggap penting oleh negara, yang diperoleh melalui penelitian yang rinci dan akurat dan menelan biaya bear, sehinga publikasinya dapat merugikan negara.
5. informasi mengenai test yang dipergunakan negara untuk menentukan promosi orang dalam jabatan tertentu.
6. informasi mengenai laporan tentang lembaga keuangan tertentu, dan lain-lain.

Adanya pembatasan semacam ini diperlukan untuk memberikan kepastian pada warga masyarakat, dan harus disertai dengan justification yang sahih, sehingga petugasinformasi dalam lembaga yang bersangkutan merasa nyaman dalam melaksanakan tugasnya dan tidak dibayangi ketentuan yang tidak perlu, sedangkan masyarakat memahami pentingnya informasi yang bersangkutan untuk dirahasiakan.
Pengecualian atas hak informasi memang suatu keharusan untuk menjamin adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban masing-masing pihak. Akan tetapi jangan sampai pembatasan kerahasiaan tersebut justru mengibiri perlindungan hak atas informasi, sehingga tujuan keterbukaan infirmasi tidak bisa tercapai.
Seyogyanya, dalam pengaturan kebebasan atas informasi tidak bisa diterapkan dengan limited access maximum exemption (LAME) atau akses yang terbatas dengan banyak pengecualian, tetapi harus diterapkan dengan prinsip maximum access limited exemption (MALE) yaitu akses informasi maksimum dengan pengecualian yang sangat terbatas. Apabila pengaturan kebebasan informasi diterapkan dengan model LAME maka sama halnya dengan sistem atau rezim pemerintahan tertutup. Sementara dengan model MALE menunjukkan sistem atau rezim pemerintahan yang terbuka. Berikut digambarkan tentang perbandingan rezim pemerintahan tertutup dengan pemerintahan terbuka dalam konteks pengaturan kebebasan memperoleh informasi.

1 komentar:

  1. Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya telah scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzaninvestment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah Indonesia (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 72 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga dapat menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus