Senin, 22 Juni 2009

Agama Sunda Wiwitan


Gejala paling kongkrit darimodel kebangkitan etnoreligius di Indonesia, tampak dalam fenomena agama lokal yang menjadi indentitas komunitas tertentu, seperti Agama Pasundan dan liran kepercayaan, Agama Sikh bagi keturunan asal Punjab. Namun di sini yang disinggung adalah agama lokal yaitu agama Pasundan. Sunda Wiwitan merupakan salah satu jenis agama pribumi dengan penganut utama orang Sunda di Jawa Barat. Saat ini pemeluk Sunda Wiwitan mencapai 3.000-an yang terutama berada di daerah Cigugur dan Kuningan. Sunda Wiwitan juga dikenal dengan sebutan Madraisme. Nama ini merujuk pada nama pendirinya yang bernama Kiai Madrais. Sunda Wiwitan kini dipimpin oleh Pangeran Djatikusuma. Oleh pendirinya agama ini dinamakan Agama Jawa Sunda. Namun karena tekaan yang berat baik dari kalangan muslim maupun pemerintah, akhirnya kelompok agama ini menamakan dirinya sebagai Paguyuban Cara Karuhun Urang (PACKU), yang berarti Asosiasi Jalan Hidup Sunda.
Dalam pandangan Agama Sunda Wiwitan, masyarakat harus kembali kepada agama mereka sendiri yang hanya dapat dilakukan dengan menemukannya pada kebudayaan yang mereka miliki secara hakiki, seperti kebudayaan Sunda dan kebudayaan Jawa. Hanya dengan mempelajari agama asli yang mereka miliki itulah masyarakat akan hidup dalam keharmonisan dan kedamaian.
Dengan dasar pemikiran semacam inilah, kelompok ini dianggap memiliki tedensi anti-Islam. Tidak heran pada masa pendudukan Jepang kelompok ini dilarang karena politik keberpihakan Jepang kepada Islam yang begitu kental. Pelarangan resmi oleh Pemerintah Indonesia juga muncul pada 1964. Baru setelah reformasi 1998 Sunda Wiwitan kembali memunculakn geliatnya, terutama dengan kedatangan Gus Dur pada acara Seren Taun. Ajaran Sunda Wiwitan tercermin dari tiga doktrin utamanya : Ngaji Badan, Iman Kana Tanah dan Ngiblating Ratu Raja. Kelompok ini memiliki tempat ibadah tersendiri yang dikenal dengan Paseban. Mereka juga tidak melaksanakan seremoni, sebagaimana diajarkan oleh agama konvesional yang dianggap resmi, mereka menolak status muslim yang disandang pengikutnya.
Walaupun mengalami pelarangan yang cukup lama, tampaknya pemeluk Sunda Wiwitan bisa memelihara dan melestarikan ajaran dan praktik kepercayaan mereka. Seiring dengan proses reformasi yang menuntut dihargainya berbagai kebebasan keyakinan, otonomi, dan lokalitas, SundaWiwitan juga menunjukkan gejala revitalisasi. Dalam konteks ini, Dewi Kanti (putri dari Pengeran Djatikusuma) menuntut diakuinya sunda Wiwitan sebagai agama. Menurut Dewi, Sunda Wiwitan adalah agama Pribumi. Apabila Konghucu bisa diakui sebagai agama, mengapa Sunda Wiwitan tidak bisa dianggap sebagai agama? Karena itu, bagi pengikut Sunda Wiwitan pengakuan dan perlindungan hak-hak sipil mereka merupakan keharusan. Layanan atas hak-hak sipil seperti pencantuman Sunda Wiwitan sebagai identitas agama, diakuinya status pernikahan pemeluk Sunda Wiwitan, dan pendidikan tentang ajaran Sunda Wiwitan di sekolah, ini tampaknya banyak disuarakan oleh kelompok ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar