Wajah pujanga termasyhur dari tanah Jawa itu sedikit tiru, berkumis lebat, dan menyimpan sorot mata tajam. Dari tangannya terlahir berbagai karya sastra bernilai tinggi. Dialah Raden Ngabehi Ronggowarsito. Hidup di Kasunanan Surakarta dan terlahir dengan nama Bagus Burham. Ayahnya, Mas Pajangswara, masih keturunan Sultan Oanjang dan ibunya dari keluarga Sultan Demak. Ronggowarsito kecil sangat akrab dengan judi dan nakal bukan main. Banyak yangtidak tahan dengan kelakuannya. Sampai-sampai Yasadipura II, kakek Ronggowarsito, mengirim cucunya ini ke Pesantren Gebang Tinatar di Tegalsari. Ia ingin Ronggowarsoto bergiri pada Kiai Imam Bastari.
Semua tak ada perubahan pada diri Ronggowarsoto. Dia tetap membandel seperti biasa, Namun suatu ketika, Ronggowarsito seperti mendapat hidayah ketika sedang berada di Sungai Watu. Sejak saat itu, ia berubah menjadi pemuda yang alim dan tekun membaca ayat-ayat suci Al Quran. Teapatnya 9 November 1821, Ronggowarsito melepasa masa lajangnya dengan menyunting perempuan pilihannya, Raden Ayu Gombak. Pengantin baru itu pindah ke Kediri mengikuti jejak ayah Raen Ayu. Ronggowarsito pun jenuh, kemudian memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Kabarnya, mereka berdua berhasil mencapai Bali, tampat Ronggowarsito mempelajari berbagai naskah sastar Hindu milik Ki Ajar Sidalaku. Saat kakeknya meninggal, Ronggowarsito diangkat sebagai pujangga di Keraton Surakarta oleh Paku Buwono VII. Pada masa-masa itulah, ia banyak menciptakan karya-karya sastra. Ronggowarsito adalah tokoh luar biasa dengan tampilan flamboyan.
Meski senang bersolek, ia tidak pernah beruntung dalam judi dan senantiasa berhutang kepada orang di sekitarnya. Namun, tokoh ini paling diingat untuk pembaharuannya yang radikal. Ia penyair modern pertama yang menulis prosa secara luas dan artistik. Banyak sarjana dan linguis Belanda bekerja sama dengannya karena ia berperan penting dalam menyatukan sejarah di khazanah sastra Jawa dan mengurutkannya secara kronologis. Kemsyhuran sebagai penyair juga layak ia terima karena Ronggowarsito ahli dalam memilih kata, bahasanya alternatif, alusi, dan terususun. Ia tidak berusaha menyembunyikan jati dirinya di balik tradisi Jawa. Salah satu penggalan syairnya yang paling terkenal dan paling sering dikutip orang dari sastra Jawa berbunyi, “Ini saat kegilaan, menyusahkan bagi jiwa adalah tak adil bila ikut serta dalam kegilaan, namun mengabaikannya berarti terputus dari seseorang yang seharusnya dan hanya membawa kelaparan.”
Semua tak ada perubahan pada diri Ronggowarsoto. Dia tetap membandel seperti biasa, Namun suatu ketika, Ronggowarsito seperti mendapat hidayah ketika sedang berada di Sungai Watu. Sejak saat itu, ia berubah menjadi pemuda yang alim dan tekun membaca ayat-ayat suci Al Quran. Teapatnya 9 November 1821, Ronggowarsito melepasa masa lajangnya dengan menyunting perempuan pilihannya, Raden Ayu Gombak. Pengantin baru itu pindah ke Kediri mengikuti jejak ayah Raen Ayu. Ronggowarsito pun jenuh, kemudian memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Kabarnya, mereka berdua berhasil mencapai Bali, tampat Ronggowarsito mempelajari berbagai naskah sastar Hindu milik Ki Ajar Sidalaku. Saat kakeknya meninggal, Ronggowarsito diangkat sebagai pujangga di Keraton Surakarta oleh Paku Buwono VII. Pada masa-masa itulah, ia banyak menciptakan karya-karya sastra. Ronggowarsito adalah tokoh luar biasa dengan tampilan flamboyan.
Meski senang bersolek, ia tidak pernah beruntung dalam judi dan senantiasa berhutang kepada orang di sekitarnya. Namun, tokoh ini paling diingat untuk pembaharuannya yang radikal. Ia penyair modern pertama yang menulis prosa secara luas dan artistik. Banyak sarjana dan linguis Belanda bekerja sama dengannya karena ia berperan penting dalam menyatukan sejarah di khazanah sastra Jawa dan mengurutkannya secara kronologis. Kemsyhuran sebagai penyair juga layak ia terima karena Ronggowarsito ahli dalam memilih kata, bahasanya alternatif, alusi, dan terususun. Ia tidak berusaha menyembunyikan jati dirinya di balik tradisi Jawa. Salah satu penggalan syairnya yang paling terkenal dan paling sering dikutip orang dari sastra Jawa berbunyi, “Ini saat kegilaan, menyusahkan bagi jiwa adalah tak adil bila ikut serta dalam kegilaan, namun mengabaikannya berarti terputus dari seseorang yang seharusnya dan hanya membawa kelaparan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar