Senin, 08 Juni 2009

Tapa Brata Panembahan Senopati


Tapa brata adalah lelaku yan sudah terfokus pada ‘sangkan-paraning dumadi’ (manungaling kawula Gusti), sehingga hati sanubarinya menjadi bersih. Tapa brata dalam kalangan masyarakat Jawa, dianggap sebagai bentuk ‘panembah’ atau dalam rangka mendekatkan diri kepada Gusti Kang Akarya Jagat (Allah). Terlebih lagi dalam lelaku tapa brata tersebut, telah ada tauladan yang baik, seperti tapa brata-nya Kanjeng Panembahan Senapati di Mataram. Sri Mangkunegara IV menuturkan : “Nuladha laku utama; tumpraping wong tanah Jawi, wong agung ing Ngeksi ganda, Penembahan Senapati, kadapi amarsudi, sudaning hawa lan nafsu, pinesu tapa barata tenapi ing siyang ratri, amamangun karyenak tuasung sesama.”
Artinya : “Tirulah tindak utama, bagi mereka yang di Tanah Jawa (masyarakat Jawa), orang agung di Mataram, sangat serius dalam berusaha atau belajar, mengurangi hardaning hawa nafsu, dengan menjalankan tapa brata, baik pada siang hari maupun malam hari, selalu berbuat baik dengan membuat senag sesama manusia”.
Tapa barat yang dilakukan Kanjeng Panembahan Senapati di Mataram tersebut, nampaknya sangat sempurna. Terlihat dengan adanya dua akses sekaligus. Pertama, akses yang bersifat ke dalam diri, yakni dimaksudkan untuk menundukkan hardaning hawa nafsu sebagai pembersihan angan-angan kotor di dalam diri. Kedua, akses bersifat ke luar, yakni bersikap positif dengan ditunjukkan karyenak tyse sesama (membuat senang kepada sesama manusia). Sebagaimana tapa brata yang dilakukan Kanjeng Panembahan Senapati di mataram, termasuk di dalamnya cegah dhahar lan gulin (mengurangi makan dan tidur) secara rutin siang dan malam, dikenal pula bentuk tapa brata yang bermacam-macam :

  1. Tapa Ngalong, yakni tapa brata dengan menggantung terbalik seperti kalong (kelelawar), kedia kaki diikat pada dahan pohon.
  2. Tapa Ngluwat, yakni tapa brata (bersemedi) di samping makam seseorang dalam jangka waktu tertentu.
  3. Tapa mBisu, yakni menahan diri dari berbicara atau berkata-kata.
  4. Tapa Bolot, yakni tidak mandi dan tidak membersihkan diri dalam jangka waktu tertentu.
  5. Tapa Ngidang, yakni menjauhi dunia keramaian dengan tinggal di dalam hutan seraya makan apa adanya sebagaimana rusa (kidang).
  6. Tapa Ngrambang, yakni menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan.
  7. Tapa Kungkum (Tapa Ngambang), yakni berendam (kungkum) atau ngmbang di dalam sungai dalam waktu tertentu.

Semua itu menunjukkan adanya bentuk tirakat (lara-lapa). Dalam pewayangan (pendhalangan) pun disebutkan, misalnya tapa ngalong dan tapa ngidang yang dilakukan oleh Subali-Sugriwa atas perintah ayahanda Reso Gotama. Sedangkan Anjani (saudara Subali-Sugriwa) saat itu menjalani tapa wuda (dengan telanjang bulat) di dekat danau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar