Rabu, 24 Juni 2009

Jenderal Hideki Tojo yang Tak Kenal Menyerah

Dua bom atom atas Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) memaksa Jepang mengaku kalah dan meyerah kepada Sekutu. Itu yang dilakukan Kaisar Jepang Hirohito. Jenderal Hideki Tojo yang juga PM Jepang pada Perang Dunia II menolak menyerah dan memilih maju terus berperang. Bagi Tojo, menyerah tidak ubahnya pengecut. Hideki Tojo, putra ketiga dari Letjen Hidenori Tojo, menjabat perdana menteri (1941-1944). Dia dihukum mati pada 23 Desember 1948 oleh pengadilan militer Sekutu karena kejahatan perang. Dalam catatan harian Tojo yang baru pertama kali disiarkan oleh media Jepang pada tanggal 12 Agustus 2008 setebal 20 halaman, memperlihatkan betapa Tojo sangat keras menolak menyerah sekalipun sebagian besar warga Jepang sudah kehilangan asa.
“Kita harus melihat negara ini menyerah kepada musuh tanpa memperlihatkan kekuatan kita hingga 120 persen,” tulis Tojo bertanggal 13 Agustus 1945, dua hari sebelum Jepang menyerah. “Kita berada pada posisi perdamaian memalukan daripada menyerah memalukan,” ujarnya. Tojo juga mengecam keras rekan-rekannya, menuduh para pemerintah takut oleh ancaman musuh dan dengan mudah menyerah. Menurut Tojo dalam catatannya, para pemimpin Jepang yang mengusulkan menyerah terutama takut dengan “bom jenis baru” dan kemungkinan Uni Soviet juga terlibat perang.
Posisi militer Jepang saat itu sudah tersudut, kalah di laut dan darat di banyak tempat. Anak-anak, perempuan, dan orang tua dipersenjatai dengan bambu runcing, mempertahankan tanah air dari invasi musuh. Catatan Tojo ini sampai ke pemerintah ketika pembela Tojo, Ichiro Kiyose, menyerahkannya kepada Kementeriaan Kehakiman. Kementerian Kehakiman lantas menyerahkannya ke Arsip Nasional pada 1999. Catatan harian dengan tulisan tangan ini cocok dengan tulisan tangan Tojo saat ia meringkuk dalam Penjara Sugamo hingga dihukum mati pada tahun 1949. Ungkapan pikiran Tojo dalam catatan harian ini memperlihatkan keyakinannya bahwa tepat dan perlu aksi invasi militer Jepang yang brutal ke seluruh wilayah Asia, termasuk hingga ke Indonesia. Dia juga tak menyesal dengan keputusannya menyerang Peral Harbor, pangkalan militer Amerika Serikat di Hawaii, 7 Desember 1941. Serangan yang melibatkan Amerika Serikat dalam perang.
Pada 14 Agustus, sehari sebelum Jepang mengaku kalah, Tojo menulis surat kepada seorang anggota staffnya dan mengatakan. “Dia bertanggung jawab moral menyebabkan kematian yang sia-sia sekalipun sebenarnya mereka berkorban untuk tujuan yang lebih besar.” Kemudian dilanjutkan “Saya mohon maaf dengan menawarkan nyawa saya,” tulisnya. Tojo gagal harakiri pada September 1945 sebelum ditangkap. Tojo dikenal sebagai pribadi yang keras dan pengambil keputusan yang cepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar